Aku masih ingat saat gemericik hujan mulai turun membasahi tanah-tanah tandus yang mulai retak sana-sini. Kita berjalan dengan santainya seolah tak tahu bahwa air hujan akan membuat kita kebasahan. Dia mulai turun, tepat saat aku mendongak ke atas; ke langit yang sudah menghitam. Kita berlarian. Sekuat tenaga mencapai tempat yang teduh terdekat. Langkahku mulai gontai kelelahan. Tapi satu tangan menyambut tanganku paksa. Menggandengnya hingga tubuhku kembali berusaha berlari. Kita saling tatap, tanpa mempedulikan jalan yang sudah basah setengah. Kemudian saling tertawa.
Tak ada yang lebih sakit daripada mengingat apa-apa yang sudah pernah kita lalui. Jengah sekali mataku melihat semua hal-hal yang selalu saja memaksaku mengingat tentangmu; kita.
Kau tau? Sejak kepergianmu dulu, hujan selalu menakutkan untukku. Mereka datang bersamaan hingga membuatku muak melihatnya. Membencimu, membenci kepergianmu, membenci semua hal yang berkaitan tentangmu. Patah hati telah menjelma menjadi kebencianku pada kenyataan yang ada. Andai saja kita memilih berterus terang hingga tak ada yang tersakiti. Andai saja aku lebih bisa memahami apa yang mulai berubah dari dirimu.
Berbagai macam pengandaian yang sengaja kuhadirkan sungguh menikam hatiku berkali lipat lebih keras daripada kepergianmu. Patah hati benar-benar telah menghancurkanku perlahan-lahan. Benar-benar tak ada yang tersisa lagi. Jika saja semesta mau berbaik hati membuatmu kembali denganku lagi, mungkin saja obat patah hatiku memang cuma kamu yang punya.
Jonggol, 29 Desember 2021